Saya sering mendengar istilah artpreneurship didengungkan di sana-sini. Cukup terdengar “seksi” di telinga saya, apalagi jika mendengar istilah itu diucapkan oleh seorang begawan artpreneurship sekaliber Ciputra, yang berhasil membangun “rongsokan menjadi emas”. Namun topik “artpreneurship” ternyata masih banyak menimbulkan ketidak nyamanan bagi banyak orang, karena dianggap berorientasi pada materialisme yang bisa membuat kita menjadi mahluk ekonomi yang luntur kadar kualitasnya. Luntur pula idealismenya. Lalu apa bedanya menjual seni dengan menjual humberger di pinggir jalan? Jika art sudah dijadikan “komoditas”, apa istimewanya menjadi seorang artist?
Sebagai “Psikolog jalanan”, saya bisa memahami pendapat ini. Apalagi jika kita meminjam teori Hirarki Kebutuhan dari Maslow, akan terlihat bahwa kebutuhan akan materi masih ada di lapisan terbawah. Sementara Seni seharusnya merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan akan “self esteem” atau perasaan bahwa diri kita terhormat yang terletak di hirarki ke empat.
Bahkan ada yang melihatnya sebagai dari pemenuhan akan kebutuhan aktualisasi diri yang menduduki hirarki teratas. Semakin tinggi hirarki kita, semakin tinggi harkat diri kita. Sehingga jika seni selalu harus dikaitkan dengan “perdagangan” maka dia akan jatuh martabatnya.
Masalahnya tidak sesederhana itu. Meski Produk Seni seharusnya menjadi hasil cipta karya yang tinggi dan luhur, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak pekerja seni yang jatuh bangun karena tidak mampu membuat hasil karyanya diminati oleh kolektor. Jadi rasanya cukup masuk akal jika kita mempelajari seninya menjual seni, sehingga kita semua bisa segera naik pangkat ke wilayah eksistensi tanpa dibebani masalah jual-menjual.
Saya jadi teringat sebuat pepatah mengatakan “if you have a problem, forget Psychology. Think Economy!” Biasanya setelah ingat hal ini, saya menjadi lebih tegar dan pragmatis. Otak kanan saya yang penuh imajinasi liar kemudian akan secara otomatis di bimbing oleh otak kiri saya untuk lebih memiliki struktur berpikir dan membungkus sesuatu dengan “solusi”. Disinilah letaknya artpreneurship, sebuah “seni menjual seni”. Dan manufer kedua sisi otak saya yang bekerja dengan sinergis, biasanya membuat saya lebih mampu menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan kepala dingin dan hati dingin sehingga membawa satu progres yang mengacu pada permasalahan yang timbul.
Sebagai seorang entrepreneur yang selama 10 tahun terakhir membina sebuah industri kreatif, khususnya advertising, saya memang selalu dihadapkan dalam 2 dunia yang harus saling mendukung : mencipta desain grafis yang indah namun sekaligus harus bisa menjawab kebutuhan komunikasi yang tepat bagi klien saya. Jadi di dalam sebuah desain selalu terkandung strategi. “We don’t believe in beautiful garbage”, begitu istilah yang sering dilontarkan jika satu desain komunikasi itu cuma indah, tapi tak berakar dan tak bermakna. Sebuah kreasi seni di sini menemukan tantangannya untuk memberikan solusi bagi sebuah permasalahan. Perspektif untuk “mencari solusi” ini selalu memberikan saya kemampuan untuk menyikapi seni dalam dimensi yang lebih lebar. “Seni”, saya ukur bukan hanya dari sisi estetikanya, melainkan juga dari segi daya gunanya untuk menyampaikan komunikasi yang tepat bagi pemecahan dari suatu permasalahan.
DUNIA KREATIF : SEBUAH DUNIA BARU
Welcome to the Creative Era. Daniel Pink dengan lantang menyanyikan lagu “The Whole New Mind”. Ia bercerita tentang era dimana manusia dihadapankan pada kenyataan bahwa ia harus beradaptasi dengan menggunakan kedua belah otaknya agar bisa berpikir luwes, mencerna perubahan dengan baik, dan pada akhirnya, menjadikannya manusia-manusia yang berdaya guna dan unggul dalam menjawab tantangan masa kini.
Mungkin memang tidak bisa dielakkan bahwa ini adalah bagian dari evolusi peradaban manusia yang “memaksa” kita untuk memiliki “sayap” dalam kelenturan berpikir dan menemukan solusi bagi problematika yang pelik dewasa ini. Hal ini sejalan dengan pemikiran Friedman, seorang jurnalist yang tajam menganalisa perubahan drastis di seluruh benua, ketika globalisasi menghantam peradaban manusia. Friedman dalam 6 bulan menulis satu buku yang dahsyat yang berjudul “The world is FLAT”, dimana sampul bukunya bergambar sebuah kapal yang sampai ke ujung dunia yang datar, dan nyaris jatuh di ujung jeram, seperti yang kita lihat di film “Pirate of the Caribbean”.
Globalisasi gelombang ke tiga ini menyadarkan manusia akan hilangnya batas-batas teritori suatu bangsa. Batas-batas waktu dan ruang ini tiba-tiba pudar akibat ditanamnya fiber optic di dasar laut dan adanya satelit yang memonitor seluruh data di atas planet bumi ini, yang menyebabkan kita semua “telanjang” dan tak bisa bersembunyi di balik ruang dan waktu yang kita miliki saat ini. Ketelanjangan ini sebenarnya mendatangkan kemewahan, karena kini kita bisa berkomunikasi ke seluruh benua langsung sejak kita bangun tidur, di kamar tidur kita, tanpa harus beranjak kemana pun. Freidman menyebutkan sebagai “individu is the driver”. Individulah yang menyetir kemajuannya sendiri. Ia adalah nahkoda bagi kapalnya sendiri, dan kita semua memiliki ijin bekerja dimana pun dia berada. Syaratnya cuma ada tiga yang paling utama : Pertama, kuasailah bahasa Inggris (dan Cina). Kedua mulailah berpikir kreatif. Dan yang terakhir : belajarlah ilmu praktis yang menghantar kita pada satu kesejahteraan : entrepreneurship!
DUNIA YANG PENUH KEMUDAHAN SEKALIGUS BERESIKO!
Kreativitas memang semakin menjadi kata kunci dalam era ide ini karena seluruh pilihan terbuka lebar untuk dinikmati. Lalu bagaimana menjadi pemenang dalam permainan ini? Ekonomi kreatif memang membuka seluas-luasnya eksplorasi diri kita untuk melihat peluang-peluang yang ada. Namun sekaligus menghadapkan kita pada resiko yang tidak kecil, jika tidak hati-hati. Disinilah ilmu artpreneurship berguna untuk kita pelajari, agar memudahkan kita berenang di dunia yang penuh kompetisi ini. Beberapa hal yang ditawarkan oleh artpreneurship mengacu pada skill atau kecakapan yang bisa kita kembangkan secara terstruktur, tanpa harus menjadi kusut karena terkontaminasi dengan aspek “materialisme”, alias ‘mata duitan”. Simple saja kok. Bagi insan-insan kreatif yang diberi kemewahan oleh alam berupa talenta untuk menciptakan gagasan, tentunya menjadi lebih mudah untuk mengadopsi pemikiran artpreneurship secara lebih ringan. Secara teoritis terdengar begitu mudah. Namun jika kita menekuni dengan sungguh-sungguh, secara praktek juga tidak terlalu sulit kok. Asalkan kita tahu topi-topi yang harus kita miliki untuk memahaminya.
Topi pertama yang harus dikenakan untuk memahami artpreneurship adalah: Visi. Visi lah yang membedakan seseorang dari yang lain. Visi pulalah yang membuka cakrawala berpikir kita menuju ke satu titik yang lebih luas dan bermakna. Visi berupa gagasan-gagasan besar yang mendatangkan kebaikan bagi perkembangan manusia pada umumnya, dan membuat dunia ini “ a better place to live”, se-sederhana itu.
Topi kedua yang harus kita kenakan adalah : Nilai tambah. Artpreneurship sebagimana yang dimaknai dalam entrepreneurship haruslah memiliki nilai-nilai tambah yang belum dimiliki oleh dunia ini. Itulah yang menyebabkan artpreneurship selalu harus mengandung inovasi. Inovasi pastilah harus mendatangkan kehidupan yang lebih baik untuk sekeliling kita. Ingat ketika sebuah roda ditemukan? Amati betapa berubahnya dunia sejak saat itu. Manusia bergerak pada kemajuan. Dan inovasi selalu merangsang inovasi-inovasi lainnya yang menambah kenyamanan dalam kehidupan.
Topi yang ketiga adalah Kreativitas, sebuah skill yang bisa dilatih, diasah dan dikembangkan, yang bisa menghantar kita pada kelenturan berpikir dan akhirnya memberikan makna positif bagi hidup kita dan banyak orang. Kreativitas dimulai dari mind set yang benar, dikembangkan dengan penguasaan keterampilan berpikir yang tepat, sekaligus sikap (attitude) yang positif, yang kemudian menghasilkan ide yang bisa mendatangkan inovasi baru bagi kita semua. Melalui kreativitas kita bisa melihat manusia-manusia baru yang ligat, penuh semangat, pantang menyerah dan senantiasa berorientasi pada solusi.
Topi ke-4 adalah Kolaborasi. Di dunia yang sangat individualis ini, teknologi telah mampu menyatukan komunitas-komunitas menjadi lebih dekat. Alangkah sayangnya jika kita tetap duduk manis di planet kita yang sunyi, menonton Looney Tunes seorang diri. Meski sering orang mengutuk perangkat teknologi yang membuat manusia-manusia menjadi “autist” sejati, namun sesungguhnya melalui komputer, BB dan Ipad, manusia meng-connect dirinya ke dalam satu dunia yang lebih besar dari dirinya sendiri. “Connecting the world” menjadi satu kata kunci yang menyatukan dunia dari keterpisahan individu ini, dan membentuk satu koloni bekerja yang bersama-sama mengacu pada kesejahteraan bersama. Yang pada akhirnya akan mendatangkan kualitas hidup yang lebih baik.
Seperti pepatah yang mengatakan bahwa pikiran kita seperti sebuah payung. Ia akan lebih berguna dan memberi makna ketika dibuka. Mungkin tidak salah membuka pikiran dan mulai mempelajari prinsip-prinsip artpreneurship agar kita bisa menghayati seninya menjual seni dengan lebih baik. Selamat berkarya!!
Foto: unsplash.com
Penulis adalah seorang creative entrepreneur yang mendalami dunia kreativitas selama lebih dari 20 tahun. Seorang konsultan komunikasi yang mendirikan Creative Center (Strategic Communication Consultant), Creative Culture (Consultant for Artpreneurship), dan Creative Mind (Research & Development).
Comments